Tentang Masa yang Rahasia
Takdir memang tidak selalu sama seperti apa yang kita harapkan, tetapi ia bisa menjadi jauh lebih indah dari yang pernah sanggup kita bayangkan. Karena itu jalani saja yang sekarang, jangan takut. Sebab sebuah perahu pasti akan dilabuhkan olehNya di dermaga yang benar.
Aku menulis dan membaca kalimat yang sama berulang-ulang. Sampai hafal di
luar kepala dan meresap ke dalam hatiku. Setitik demi setitik, lama-lama
membasah, membanjir dengan sendirinya, meski hanya dalam hatiku sendiri.
Logikaku tidak sampai kepada sebuah alasan dibalik setiap kejadian-kejadian
yang ku alami ataupun setiap keputusan-keputusan baik kecil ataupun besar yang
telah aku ambil di hidupku, baik dalam sebuah keyakinan atau keraguan dan
keterpaksaan ataupun keikhlasan. Semua terjadi begitu saja, terkadang ku sadari
tetapi lebih sering tidak ku sadari hingga semua mengalir begitu saja.
Banyak orang bilang, manusia cuma mengambil keputusan-keputusan, tetapi
makna dari keputusan itu hanya Tuhan yang tau.
Aku, seperti hamba lain yang beriman kepadaNya, aku percaya bahwa ada yang
disebut nasib dan takdir. Karena itu aku hanya mengusahakan sesuatu yang mampu
kuusahakan. Karena seperti janjiNya, bahwa mungkin ia akan mengubah nasib suatu
kaum asalkan mau berusaha. Tetapi bagaimana dengan takdir? Batasan yang hanya
Tuhan saja yang tau.
Aku hanya mengalir saja, barangkali sama seperti air. Dibandingkan dengan
yang lain, aku termasuk yang paling patuh mengalir. Patuh pada orbitku. Tidak
seperti air yang lain yang beriak dan berani mengambil jalan bertentangan, ikut
terbang bersama angin dan turun lagi bersama hujan. Aku tidak! Aku hanya patuh.
Tapi aku sudah disini. Takdir yang membawaku. Ya, takdir. Tapi saat ini,
sebelum takdir ditetapkan atasku, aku akan berusaha mendapatkan nasib baik yang
kubalut dalam usaha dan doaku.
Kadang ketika langit mendung, aku duduk di teras rumah, memandang ke langit
yang menjadi atapnya bumi. Lama sekali. Orang-orang mungkin akan menertawakan
kebiasaan burukku ini. Kadang pula aku menatap langit malam yang cerah
berbintang, kadang langit pagi yang biru dengan awan kapas putih yang
bergulung-gulung.
Ku cari jawaban atas pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh siapapun. Pada
alam, berharap Tuhan menitipkan sebuah jawaban pada alam, hingga ia
menyampaikan pesanNya kepadaku tepat saat renungku sampai di puncaknya.
Aku memang sudah terbiasa seperti ini. Berbicara pada diri sendiri. Menulis
segala sesuatu yang ada di benakku, pada sebuah catatan yang entah akan ada
orang membaca atau tidak itu tidak penting untukku. Yang terpenting untukku
adalah hatiku telah lega karena aku telah menumpahkan segala rasa yang mungkin
memenuhi ruangan hatiku.
Aku adalah orang yang paling rasional di antara yang lain, sekaligus yang
paling irasional. Entah bagaimana, logikaku selalu membawaku pada sesuatu yang
berada di luar logika seperti yang ku sebut nasib dan takdir tadi.
Pada akhirnya aku menyerah.
Logikaku hanya berakhir sebatas bagaimana aku bisa sampai disini. Rasioku
hanya bertahan sampai pada sebuah alasan logis yang ku buat untukku memilih
belajar disini, lalu tinggal di sini. Tetapi rasioku tidak sampai pada
persoalan 'kenapa?'.
Tapi, Tuhan kan yang mengatur ini semua? Seperti kalimat tadi, hanya Tuhan
yang tau makna dari setiap keputusan.
Rencanaku hanyalah sesuatu yang berasal dari logikaku, tetapi bagaimana
nanti aku tidak tau. Termasuk, aku tidak tau bagaimana aku akan menjawab semua
pertanyaan sahabat dan saudara ketika bertemu. Tentang kemana aku setelah ini?
Kemana aku setelah ini? Jawaban semua orang pasti akan sama, bekerja lalu kerkeluarga.
Jawaban standart bukan? Tapi butuh kehati-hatian dalam menjawab. Ah ya,
sebenarnya, ingin kemana aku setelah ini? Tapi apa yang kita ingini terkadang
bukan berarti apa yang kita butuhkan.
Aku merangkai cita-citaku sebagaimana harapan orang-orang kepadaku hingga
ia telah menjelma menjadi ambisi dalam diriku. Aku ingin disini, memandang
barisan-barisan pemuda-pemudi yang akan ku bina menjadi insan berguna. Karena
itu aku berusaha.
Tapi walaupun berat, walaupun dalam abu-abu yang tidak kunjung jelas
setapaknya. Karena seperti para pengelana yang sedang mencari jalan di dalam
kabut, ia hanya berjalan sampai menemukan setapak yang dimaksud. Yang membawa
pada mata air terdekat. Mata air terdekat itulah yang aku cari.
Keluarga. Bagaimana dengan berkeluarga? Aku sudah sering membuat sketsa
sebuah keluarga dalam sebuah rumah yang selalu ramai dengan suara anak-anak.
Dengan anak-anak yang sehat sehingga ia ceria, anak-anak yang cerdas sehingga
hatinya bercahaya. Yang bergelayut manja di pangkuan kakek dan neneknya, sedang
kami di sudut yang lain memandang dengan bahagia.
Mari membicarakan tentang cinta. Katanya seperti sebuah hal ajaib kalau
seseorang bisa saling mencintai, tetapi banyak kan cerita cinta yang bertepuk
sebelah tangan. Akankah cintaku bisa bertepuk-tangan? Apakah ini akan sampai
pada dirinya? Ataukah sampai pada yang lain? Hal yang masih abu-abu pula.
Ini hanya sebuah ‘andai’, tetapi barangkali akan terdengar pesimistis.
Bukan. Tapi aku hanya bersiaga terhadap semua kemungkinan yang Tuhan berikan
kepadaku. Tentang kalimat yang selalu ku tulis dan kubaca berulang-ulang.
Takdir memang tidak selalu sama seperti apa yang kita harapkan, tetapi ia
bisa menjadi jauh lebih indah dari yang pernah sanggup kita bayangkan. Karena
itu jalani saja yang sekarang, jangan takut. Sebab sebuah perahu pasti akan
dilabuhkan olehNya di dermaga yang benar.
Maka, tidak akan ada yang sulit bagiku apabila Ia telah menggariskan
sesuatu untukku. Bukankah Tuhan tau apa saja yang telah kita usahakan dan kita
pinta kepadaNya. Demikian pula Tuhan tau apa saja yang baik untuk kita dan
tidak baik untuk masa mendatang.
Maka. Logikaku telah sampai pada puncak keterbatasanku. Aku telah menyerah,
pada sebuah kata, ‘maka biarkan Tuhan yang membantu mengatasi semua yang telah
dan akan terjadi di kehidupan kiat’. Cukup.
Komentar
Posting Komentar