HATI YANG TERDEKAT



HATI YANG TERDEKAT
by SARASWATI Hybrids
Bagai pinang dibelah dua, kembar Hadid dan Habib kadang dengan kasat mata sulit dibedakan, namun kalau sudah kenal maka akan tau bagaimana cara membedakannya. Dari fisiknya saja, Hadid lebih hitam dibandingkan adiknya yang memang lebih putih langsat, sementara dari segi tabiat Hadid yang memang sulung lebih tegas dalam berpendirian bahkan terkadang malah terlihat keras kepala, kalau adiknya mungkin dengan tipikal kakak seperti itu membuatnya lebih soft dan terkadang jadi seperti tidak punya pendirian.
Humaira yang sudah pernah membuktikan betapa dua manusia ini walau terlihat sama namun benar-benar berbeda. Menjadikannya sebagai bagian penting dalam masa remaja akhirnya yang mengenalkan pada jatuh cinta ala anak kuliahan, yang bukan lagi menjadikan pacaran sebagai target utamanya, tapi menikah.
“bad mood amat sayang?”, tanya Nur melihat saudarinya terbengong-bengong menatap laptop yang dibiarkan menyala tanpa disentuh sama sekali.
“haha, Humaira nih terlalu banyak belajar, makanya sampe ngehang begini nih, hehe...”, Amel menyahut sambil mengambil posisi duduk disamping Humaira yang semakin tebal bibir manyun-nya.
“Abisnya... Si besi tua tuh... nyebelin, masak katanya mau rapat asisten biologi molekular, eh malah akunya wis datang pagi-pagi malah nggak jadi, sama aja kayak kembarannya tuh nggak jelas... tau gitu kan aku bisa tidur lebih lama, masih ngantuk tauk...”, Humaira nyerocos menjelaskan kenapa dirinya manyun nggak ketulungan.
“Jadi kamu disini sejak pagi? Wih betah nian sayangku...”, ah benar saja, jam sepuluh pagi sekarang, nggak banyak mahasiswa yang akan datang pagi-pagi di musim hujan yang berkabut kalau bukan untuk kebutuhan tertentu. Apalagi, thesisnya tidak mengharuskannya untuk selalu datang ke kampus pagi-pagi, bahkan Bu Dinar dan Pak Darwis lebih suka berdiskusi lewat email saja, dan baru benar-benar bertemu face to face hanya pada hari jumat dan senin saja.
“iya, tapi sekarang aku laper... makan yuk...”, ajaknya
“lah... kirain ngambek itu nggak bisa membuatmu merasa lapar, ternyata tetep aja bisa laper haha...”, Yana ikut berkomentar sambil terkikik. Akhirnya mereka berempat memutuskan untuk makan di kantin kampus, untunglah jumat pagi tidak terlalu ramai.
“jadi, kamu betenya karena nggak jadi rapat atau karena nggak bisa ketemu mas Hadid?”, tanya Nur cekikikan,
“loh sekarang mas Hadid kirain mas Habib yang unyu-unyu...”,
“jangan deh Ra, mas Hadid aja, lebih macho,”,
“apaan, bagusan juga mas Habib lebih kalem, nggak grusa-grusu...”, mereka bertiga selalu bersemangat menggoda Humaira setiap kali muncul pembicaraan mengenai dua kakak-beradik itu.
“nggak mau sama satupun diantara mereka, nyakitin ati aja...”, si tersangka angkat bicara, nggak terima di-kepo-in sama tiga orang sekaligus.
“eciee.. serius nih... katanya cinta mati...”,
“iya, tapi kalo terus-terusan memelihara cinta nggak jelas juga bisa bikin mati... mati rasa!”, protesnya sambil mengunyah siomay udang dari stand bu Eco.
Hadid adalah laki-laki pertama yang membuatnya bertahan di hiruk pikuknya kehidupan kampus yang nggak kenal lelah dan nggak kenal istirahat. Laki-laki itu menurutnya dewasa dan bijaksana. Pertama kali mengenalnya ketika ia menjadi praktikan di matakuliah Ekologi pertanian, kebetulan sekali ia adalah asisten yang mengampu paktikum dikelasnya dulu pas semester satu di S1nya. Humaira termasuk dalam kategori mahasiswi yang nggak suka diam sebelum ia paham materi yang diajarkan baik oleh dosen, tutor maupun asistennya. Hadid sampai kewalahan menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang Humaira tanyakan. Saking kewalahannya, Hadid sampai membuka pertanyaan khusus untuk Humaira di line SMS saja, karena membiarkan Humaira mendebatnya di jam praktikum bisa menghabiskan lebih banyak waktu.
Suatu ketika entah bagaimana awalnya, Humaira mulai merasa bahwa ia ternyata sudah menyukai Hadid, sampai kesalahpahaman kecil terjadi di antara mereka karena Hadid termasuk dalam garis keras menentang pacaran, dengan keras pula ia menolak Humaira, yang sebenarnya tidak pernah dengan blak-blakan mengatakan “aku cinta kamu”, namun dari sikapnya sudah sangat jelas ditunjukkannya. Sikap Hadid yang mendingin lalu membuat mereka samakin jauh satu sama lain sehingga ia mulai beranggapan bahwa ternyata ia tidak diinginkan. Hadid memilih selalu menghindar setiap kali ada kemungkinan bertemu dengan Humaira, bahkan SMS Humaira tentang praktikum juga sudah mulai jarang dijawabnya.
Namanya suka, masak nggak boleh? Setelah patah hati dengan sang kakak, kejadian yang sama berulang dengan adiknya dengan rentetan peristiwa yang nyaris sama, bedanya ia tidak benar-benar ditolak dan diasingkan. Habib yang kemudian menjadi asistennya di Ekonomi pertanian di semester ketiga membuat Humaira mulai mengubah pandangannya dari Hadid yang keras dan tegas pada Hadid dengan versi lebih kalem dan lembut, bernama Habib. Namun apa mau dikata, ternyata adik sama dengan kakaknya, tidak pernah menginginkan Humaira, dan sikap-sikap yang sudah ditunjukkannya, yang seolah tidak padahal iya, tapi seolah iya padahal tidak membuat Humaira jengah juga menunggu kepastian.
Awalnya, Hadid memang lebih perhatian padanya, bahkan mereka sering sekali curhat, saling bertukar pikiran, bertukar informasi dan pandangan mengenai banyak hal. Banyak pro-nya, tapi banyak juga kontra-nya. Kalau sudah berdebat nggak ada yang bisa ngehalangin. Hadid bukannya nggak tau kalau adiknya dekat dengan Humaira, dan Habib juga bukannya nggak tau kalau Humaira dulu pernah suka pada kakaknya, tapi kembali lagi ke awal, anak ini seolah-olah tidak pernah ingin memberikan kepastian apapun, mungkinkah karena ia tidak tahu bahwa perempuan ini sudah kembali jatuh padanya, bukan lagi pada kakaknya, atau sebenarnya tahu tapi nggak mau tahu?
“aku nggak mau memikirkan apapun atau siapapun, tujuanku sudah jelas sekarang, pengen segera menyelesaikan thesisku, daftar dosen, diangkat jadi dosen tetap dan jadi wanita karier...”, ucap Humaira mantab,
“kapan nikahnya?”, sahut Nur yang selama ini selalu berkoar-koar nikah muda, yang nyatanya belum kecapaian sampe sekarang,
“entar, kalo sudah ketemu orang yang tepat...”,
“apa menurutmu keluarga Aziz nggak tepat?”, Aziz adalah nama Fam dari si kembar Hadid Aziz dan Habib Aziz.
“bukan orang yang tepat kalau sudah jelas-jelas menolakku masuk dalam hidupnya toh...”,
Pembicaraan runyam itu akhirnya berakhir setelah makanan yang mereka makan tandas. Setelah ini semua akan kembali pada kesibukannya masing-masing, menemui pembimbing thesis, merevisi proposal, membaca journal dan browsing di elearning perpustakaan kampus. Pertemuan seperti ini yang akan selalu menjadi pelipur setiap kali lelah datang.
***
Handphone-nya bergetar, seseorang menelponnya malam-malam begini, nggak tau apa kalau ia sudah ingin buru-buru pulang. Malang yang dingin di malam hari membuatnya tidak bisa berlama-lama diluar, udara luar yang dingin tidak menyenangkan baik untuk tubuh ataupun fikirannya. Bayangan kamarnya yang hangat, bad covernya yang lembut sudah membayangi. Masalahnya, teplon barusan dari ayahnya yang mengatakan bahwa beliau tidak bisa menjemputnya, karena mendadak ayah dan ibunya harus segera pulang ke Solo, rumah kakek dan nenek Humaira karena kakeknya mendadak masuk rumah sakit, maklum sudah sepuh.
“kamu pulang bareng Hanif saja ya dik,”, kata ayahnya memberikan solusi, beliau mengatakan bahwa ia sudah menelfon Hanif untuk memintanya menjemput Humaira. Hanif adalah putra dari sahabat ayahnya yang sejak kecil sudah dianggap seperti kakaknya sendiri. Belakangan mereka memang sering bersama karena Hanif juga mengajar sebagai dosen kontrak di FKU kampusnya. Hanif tiga tahun diatasnya dan juga sedang menyelesaikan program masternya di FKU.
Humaira memutuskan untuk masuk ke mushola kampus dan sholat isya dulu sembari menunggu Hanif datang. Tak berselang lama setelah ia selesai sholat isya Hpnya bergetar,
“dik, aku sudah di parkiran FP nih...”, mas Hanif memberi isyarat kalau dirinya akan menunggu di depan gedung Fakultas Pertanian. Humaira segera berkemas, selain memang ia ingin secepatnya pulang, suasana mushola yang sepi ternyata bisa juga membuatnya merasa tak nyaman.
Hanif sama sepertinya, nggak ada saingannya, karena anak satu-satunya, karena itu bagi Hanif Humaira adalah adik perempuan yang harus dijaganya, hal ini sudah diajarkan oleh ayahnya sejak ia kecil, karena waktu masih kecil Hanif sering dititipkan di rumah Humaira, saat kecil ibunya sakit sehingga harus istirahat di rumah neneknya di Solo, jadi ia hanya berdua saja dengan ayahnya, sedangkan kalau pulang sekolah ia akan pulang ke rumah Humaira, makan, ngerjakan PR, main dan tidur juga di rumah Humaira sampai ayahnya pulang dan menjemputnya untuk pulang. Kebetulan ibu Humaira adalah ibu rumah tangga yang merangkap penulis, jadi bekerjanya ya di rumah. Hal inilah yang membuat  mereka berdua akrab, namun sekarang setelah mereka sama-sama dewasa, sepertinya Hanif sudah bukan Hanif kecil, ia adalah lelaki dewasa sekarang, dan Humaira juga sudah bukan anak kecil tapi seorang wanita dewasa yang menarik.
“Mas Hanif kok belum pulang?”,
“Iya, baru selesai nge-lab, kebetulan banget kamu juga belum pulang, hehe”,
“ih, capek banget tau nggak sih hari ini...”,
“haha, capek hati ya dik? Pasti H2?”, H2 itu sebutan Hanif untuk Hadid dan Habib, kebetulan ia juga kenal mereka karena satu organisasi di Rohis pusat, hanya saja mereka satu tahun dibawah Hanif,
“iya, biasalah...”,
“udah, nggak usah dipikirin, mending kita makan dulu yuk, laper kan?”, tawarnya sambil tersenyum. Uuh, orang ini kalau tersenyum makin keluar gantengnya, kadang Humaira bangga kalau pas jalan bareng mas Hanif-nya ini.
“boleh, ih kok tau sih kalo aku laper...”,
“kapan sih kamu nggak laper, dan herannya mau sebanyak apapun kamu makan kok kamu nggak gendut ya dik, haha,”,
“ih gitu... suka deh ngeledekin aku cacingan, enak aja...”,
“eh aku nggak bilang kamu cacingan kok, haha, kan kamu yang ngakuin sendiri... haha...”,
“apaan sih, tau ah...”, mau tidak mau ia ikut tertawa,
Tak berapa lama handphone Hanif berdering, seseorang menelponnya, tanpa pikir panjang ia langsung menyerahkannya pada Humaira,
“siapa?”,
“angkat aja...”, suara perempuan. Sedang kaget sekali ketika tau yang mengangkat adalah seseorang yang sudah jelas suara perempuan, bukan suaranya Hanif. Suara itu terdengar kecewa dan sedih, hanya mengatakan bahwa ia perlu bicara dengan Hanif sebentar saja. Hanif yang menangkap isyarat itu langsung menggelengkan kepala tanda ogah menerima telepon itu.
“siapa tadi itu?”, tanyanya pada Hanif. Oh, perasaan apa ya itu namanya, perasaan kepo dan ingin sekali mencampuri urusan orang lain karena merasa itu sangat mengganggu hatinya. Loh, ada apa dengan hatinya?
“namanya Liana, teman seangkatanku...”, ia menghela nafas panjang, “ngakunya suka sekali sama aku, habisnya gimana ya dik, kamu tau kan aku nggak ingin pacaran...”,
“loh, di usia yang sudah hampir dua puluh empat tahun masak sih dia masih ingin pacaran, kan nggak.. ih, mas harusnya segera memberikan jawaban biar dia nggak nunggu-nunggu, kasian loh mas mbaknya itu...”,
“sudah kok, aku sudah dengan tegas bilang, aku nggak bisa... lagian juga sudah ada yang lain....”,
“siapa?”, tanyanya penuh selidik, yang ditanya hanya diam berkonsentrasi pada jalanan kota Malang yang lengang pasca hujan besar sore tadi.
“lalu... apa bedanya mas Hanif sama H2 itu? Terutama, apa bedanya sama mas Hadid? Sama-sama keras kepala...”,
“lalu kamu inginnya aku bagaimana? Aku kan nggak bisa membiarkannya menungguku seperti bagaimana Habib membiarkanmu menunggu...”,
“kenapa jadi bawa-bawa aku sih.. aku nggak suka..”,
“kamu duluan yang ngasih contoh tentang dua orang itu...”,
“mas sama aja ternyata... apa bedanya...”, ia mumbuang muka tanda tak suka. Mendadak hatinya ikut-ikutan sakit. Entah mengapa, ia jadi merasa kakak yang selama ini dikaguminya akan sama saja dengan orang-orang itu, yang sudah membuat hatinya carut marut.
“kenapa kamu yang jadi marah-marah?”,
“karena aku...”,
“karena apa? Itulah kelemahanmu, bahkan kamu begitu sulit untuk mengutarakan maksud hatimu dan meminta orang lain untuk bisa memahaminya...”,
“kenapa jadi mengkritikku?”,
“karena kamu memang selalu seperti itu...”,
“lalu kenapa? Masalah buatmu? Bahkan aku nggak pernah memintamu untuk mengerti...”,
“memang nggak pernah tapi pada akhirnya aku belajar untuk mengerti...”,
“sudah jangan berdebat sama aku!”,
“kenapa sih kamu keras kepala sekali?”, tanya Hanif,
“memangnya kenapa? Kalo nggak suka ya sudah, aku kan bukan adikmu, kamu bukan kakakku, jadi kamu nggak punya keharusan untuk menyukai sifatku...”, perdebatan selesai setelah pada akhirnya Hanif duluan yang meminta maaf. Hatinya memang selalu setenang itu, bahkan untuk meminta maaf sekalipun ia tau bahwa untuk membuat Humaira reda marahnya itu sangat sulit. Ia memutuskan mengajaknya makan di ayam bakar pak Lukman di kompleks perumahannya, biasanya ini tidak pernah gagal membuat hati Humaira menjadi teredam amarahnya.
***
Hari itu ulang tahun Humaira, sepupu-sepupunya dan saudara sepupunya Hanif yang memang juga kenal dekat dengan Humaira sudah menyiapkan kejutan. Maklum saja, dulu SMP dan SMA sempat satu sekolah, sampe membentuk geng yang dianamai alfabet. Personel gengnya adalah Aldi, Bima, Ciko, Deny, Endi, mereka adalah sepupunya Hanif, keluarga ini sepertinya lagi keterbatasan generasi cewek, masak sekeluarga isinya anak cowok semua sementara Fian, Gina, Heny, Ilma dan Jeni adalah sepupunya sendiri, kebetulan sekali mereka satu angkatan jadi mereka sangat akrab dan sering sekali bersama-sama, hanya saja karena kuliahnya mereka beda kampus walau masih sama-sama di Malang jadi mereka mulai jarang bertemu, kebanyakan mereka ambil keteknikan dan kesehatan di Politeknik Negeri Malang dan Akademi Kesehatan Malang.
“Rara... ini gawat banget Ra.. kamu harus ikut kita Ra...”, Gina dan Bima yang kebagian sandiwara mengajak Humaira untuk ikut dengannya dengan dalih tengah terjadi sesuatu dengan Hanif, siapa yang nggak panik kalau seseorang bilang bahwa tengah terjadi sesuatu dengan orang yang kita sayangi,
“mas Hanif Ra...”,
“iya mas Hanifnya kenapa Gin... yang jelas dong, jangan bikin aku panik...”,
“udah pokoknya kamu ikut kita aja...nanti kamu juga akan tau, ini gawat banget pokoknya”, Bima ikut meyakinkan seyakin-yakinnya pada Humaira, ia berjalan cepat mendului Humaira menuju Splash putihnya yang terparkir di depan rumah Humaira. Mama dan Papa Humaira sepertinya sudah bisa diajak bersandiwara, buktinya mereka ikut-ikutan ‘panik’, walaupun tau bahwa ini memang masuk dalam strategi mereka untuk mengerjai Humaira di HUTnya yang ke 22.
Humaira yang masih dengan baju tidurnya, training panjang kesukaannya, baju lengan panjang dan jilbab segi empat yang dipakainya buru-buru, cuma pakai minyak wangi biar nggak kecut, untung semalam dingin jadi nggak berkeringat.
“kita mau kemana ini Bim? Kok ke Batu...”,
“pokoknya nanti kamu liat sendiri aja, mas Hanif sekarang posisinya lagi di Batu,”,
“iya tapi kenapa? Beri aku satu aja clue, dia kenapa? Dia nggak papa kan? Dia sakit? Atau apa? Kenapa?”, ia semakin panik, ia tidak ingat apa-apa kecuali ia belum minta maaf setelah pertengkaran mereka di mobil hampir satu minggu yang lalu saat Liana menelpon. Ah, harusnya ia masih tidur di sabtu pagi yang dingin begini, ini malah dibuat panik. Kasihan juga, pikir Gina.
“udah Ra.. kamu yang sabar ya... kita susah njelasinnya, nanti kamu akan tau..”,
“iya Ra, kamu sabar ya...”, Gina merangkul pundak sepupunya, mendadak Humaira menjadi dingin, takut kalau-kalau Hanif sakit, atau terjadi kecelakaan, atau Hanif sedang marah padanya, atau sedang ada urusan dengan pihak berwajib karena sesuatu, atau habis dikeroyok preman karena nolongin nenek-nenek yang mau dijambret. Ya ampun, mendadak pikirannya kalut dan matanya mulai panas, samapai nangis segala, ya ampun!
Mobil memasuki kawasan wisata Songgoriti, lalu diparkirkan di parkir khusus pelanggan. Humaira mulai bertanya-tanya dimana Hanif dan lain sebagainya. Masih pukul tujuh pagi, dan tempat wisata jelas baru saja dibuka.
Berkali-kali mereka menghampiri pegawai-pegawai untuk menanyakan daerah terjun payung, lalu pura-pura nyasar ke wahana yang lainnya, misalkan ke kolam pemandian, ke taman bunga, ke food cort, Humaira sampe capek sendiri, ia mencoba menghubungi HP Hanif tapi tidak pernah diangkat seolah orangnya hilang ditelan bumi.
“Aduh, dimana ya... habisnya susah sekali nyari tempat terjun payung disini nih...”, Bima pura-pura panik,
“loh, terjun payung ya di paralayang, gimana sih...”, Rara mulai angkat bicara,
“ya ampun, iya ya... salah dong...”,
“ya iyalah... wis langsung cabut...”,
Tepat pukul 10.00 mereka sampai di paralayang, tak ayal suasana ramai semakin membuat Humaira gemetar, takut kalau benar terjadi apa-apa dengan Hanif, ada Mama Papanya juga disana, ada Ibu Bapak Hanif, lalu ada geng alfabet-nya dan juga Yana, Amel dan Nur yang entah bagaimana bisa ada disana juga.
“Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday... Happy birthday... Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthday... Happy birthday... Happy birthday to you...”, orang-orang itu langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun ketika tahu Humaira sudah datang. Humaira yang baru datang langsung bingung dibuatnya, seketika tangisnya pecah sejadi-jadinya,
“Selamat ulang tahun sayangku...”, papa dan mamanya merangkulnya sayang, setelahnya Hanif baru muncul dengan senyum terjail miliknya,
“ih... kamu ya... mas Hanif rese, nyebelin, masak ngerjain aku, pake bilang yang enggak enggak...”, ia masih sempat-sempatnya main kejar-kejaran sama mas Hanif ingin meninjunya biar kapok. Tapi tangisnya masih pecah, meskipun kepanikannya yang tadi sudah mereda.
“iya loh.. tadi ada yang sampek nangis di mobil... ciee sebegitu khawatirnya hahahaha....”,
“ecieee Rara, ohh ternyata sekarang sama mas Hanif ya.... kenapa nggak bilang sama kita-kita...”, gangnya siap menyerbu dengan candaan-candaan menyebalkan sekaligus membuat hatinya berdebar-debar.
“ih, apaan sih, kalian nih juga nyebelin tau...”, katanya pura-pura marah, tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan untuk tidak terulas dengan sempurna.
“jadi, kasihan sekali ya sayangku ini, bangun tidur langsung dikerjain...”, canda Hanif sekenanya, disambut surara deheman di sana-sini,
“sekarang sudah blak-blakan manggilnya pake sayang.. cieee....”, Ibu dan Bapak Hanif ikut-ikutan menggodanya, yang digoda Cuma senyum-senyum saja, Humaira yang mencak-mencak minta pertanggung jawaban,
“mas Hanif loh Bu... Rara dikerjain, nakal ya Bu...”, katanya sambil bersembunyi di balik lengan ibu Hanif,
“oh, jadi gitu... punya tempat ngadu ya sekarang....”, Hanif pura-pura nggak terima, Humaira malah semakin memeluk erat Ibunya, Mama Papanya hanya geleng-geleng kepala melihat anak kesayangannya itu. Bagi Mama dan Papa Humaira, Bapak dan Ibu Hanif sudah seperti saudara sendiri,
“woh memang nakal ya anak satu itu ya nduk ya.. wis sini biar Bapak jewer...”,
“iya pak... ampuunn ammmpuuunn hhahaha...”, Hanif pura-pura minta ampun.
Akhirnya mereka memutuskan untuk makan dulu dengan lesehan, masakan Ibunya Hanif dan Mamanya, pantas semalam mama begitu sibuk masak macam-macam.
Mama dan Papanya duduk sambil berbincang-bincang hangat dengan Bapak dan Ibunya Hanif, geng alfabet juga sudah membuat lingkaran sendiri sementara Nur, Amel dan Yana juga ikut-ikutan nimbrung, Humaira masih punya tanggungan ganti baju gara-gara keluar masih dengan baju kebesarannya, baju tidur, untung Mamanya ingat dan membawakan baju ganti.
“Mas Hanif rese deh... seneng ya bikin aku panik...”,
“kamu panik?”, tanyanya penuh kemenangan,
“iya lah... dikira siapa yang nggak panik kalo...”,
“kalo apa?”,
“ih, mancing aja sih... tau ah...”,
Rasa lapar sudah terbayarkan dengan menu sehat nasi putih panas, kulupan bayam hijau, sambal korek pedas, tahu, tempe, jamur krispi, dan ayam goreng kesukaannya yang dibawa di acara makan bersama pagi itu. Makan di lapangan terbuka, beralaskan tikar dan beratapkan langit biru kota Batu yang redup membuat hatinya menjadi syahdu.
“wis, alhamdulillah sudah selesai makan-makan untuk syukuran hari ini, karena anakku tersayang ini Humaira sudah menginjak usia dewasa, duapuluh dua tahun yo nduk.. wis bukan anak kecil lagi... ini sekalian saja minta doanya dari semua semoga bisa tercapai semua keinginannya, dan selalu berada dalam ridho Allah subhanahu wata’alah.. aamiin...”, Papa membuka pembicaraan
“aamiin...”, jawab semuanya kompak.
“wis, mungkin ada yang mau disampaikan lagi dari semua?”, wah, mulai ada gerak-gerik mencurigakan nih. Selidik punya selidik, ternyata kembali ke biang kerok, Hanif! Deg!
“Maaf saya Pak... engg anu.. eh itu saya..ingin...”,
“bismillah dulu to le.. hehe...”, ada apa ini? Orang-orang seolah sudah berada di kubu Hanif semua, nggak Ibu Bapak juga Papa Mama sama sekali tidak menceritakan tentang ini,
“ini...”, Hanif menyodorkan bungkusan kecil berwarna merah jambu pada Humaira, ragu-ragu membukanya. Ternyata isinya cincin sepasang, dengan mata bening di salah satu cincin putih yang ukurannya lebih kecil. Suasana mendadak hening, acara apa ini? Perayaan ulang tahun atau lamaran?
“alasan kenapa aku tidak pernah membiarkan seorangpun wanita asing masuk dalam hidupku adalah karena aku sudah punya dua. Ibuku dan kamu... alasan kenapa aku tidak bisa menerima yang lain sehingga aku harus berdebat denganmu minggu lalu adalah karena aku tidak bisa dengan orang lain...”,
“jangan tanya kenapa karena aku tidak pernah menemukan alasan yang tepat, jangan tanyakan sejak kapan, karena aku juga tidak tau. Yang aku tau, aku sudah begini sejak dulu, dan yang aku tau aku menyayangimu, bukan lagi seperti bagaimana Hanif kecil menyayangi Humaira sebagai adiknya. Sekarang sudah berbeda. Biar bagaimanapun, aku adalah Hanif dewasa sekarang, maaf...”, ia bercerita dengan runtut dan jelas untuk mengutarakan semua isi hatinya yang tersimpan dengan baik selama ini.
“aku sudah matur sama Papa dan Mama, aku sudah mengutarakan semuanya jauh sebelum ini. Tapi aku tidak pernah lagi membicarakannya karena aku berfikir mungkin kamu bisa menemukan orang yang jauh lebih baik dari aku, tapi jika sampai saat ini kamu masih sendiri, aku berfikir, mungkin saatnya aku menunjukkan egoku, bahwa aku juga ini memilikimu, ingin menyayangimu tanpa ada yang disembunyikan lagi...”, lawan bicaranya dibuatnya terharu sampai sulit untuk mengeluarkan walau sepatah kata saja.
“Sekarang, aku sudah lega sudah mengatakannya... mungkin aku termasuk dalam kategori yang takut mengatakannya sendirian, sampai harus bawa-bawa orang sekampung... maaf... sekarang terserah kamu, selanjutnya bagaimana, karena biar bagaimanamun aku tidak pernah ingin memaksamu untuk bisa menerimaku...”, yang diajak bicara sibuk bergelut dengan pikirannya, akhirnya memutuskan untuk menatap Papanya, mencari jawaban,
“diam berarti iya...”, kata Papa kemudian,
Dan ia memilih diam sampai semuanya bisa menarik kesimpulan, ‘iya!’.
***
“ya udah deh terserah lah ya mau ujian praktikum tanggal berapa... yang jelas kalau mau minggu ini jelas adik-adik pasti keteteran, kalau minggu depan sebenarnya waktu yang pas, kalau mau minggu depannya lagi jelas pada pulang kampung wong hari kejepit di hari seninnya...”,
“tapi kalo minggu depan itu sebagian besar panitia ujian ada acara diklat biologi lingkungan di Batu...”, jawab Hadid,
“memangnya kenapa? Panitia yang diklat kan Cuma separuh dari total... kita masih bisa handle kok... tinggal kitanya aja yang mau mengatur apa nggak. Lagian untuk kapasitas praktikan yang Cuma lima ratus orang itu sudah cukup kok kalo asistennya Cuma 25 orang, kita bisa handle...”,
“kalo kamu merasa bisa silakan kamu jalan sendiri,”,
“ih,kok jadi ngotot sih... terus maunya gimana? Tadi kan tanya kapan baiknya, ini dijawab kenapa jadi nggak setuju dan marah-marah sih mas...”, panitia ujian praktikum yang lain sudah setuju dengan Humaira, malah sebagian besar mulai berfikir bahwa Hadid mendadak tidak bisa berfikir jernih, mungkin ada sesuatu dengan orang ini.
“ya udah deh terserah kamu, kalau begitu kamu yang urus semuanya mulai sekarang...”,
“mas nggak bisa gitu dong, mas kenapa sih...”, tanyanya saat Hadid mau walk out,
“tanya aja sama Habib...”, wah ada apa ini? Masalah praktikum malah bawa-bawa kembarannya yang sepertinya memang nggak ada sangkut pautnya dengan perdebatan ini,
“kok bawa-bawa aku sih...”, Habib yang tiba-tiba nongol karena terlambat ikut rapat asisten ikutan kaget. Sementara rapat dipending sampai ditemukan solusi terbaik untuk ujian praktikum kapan dan teknis ujian yang paling baik.
“Mas Hadid kenapa sih mas? Kalian ada masalah ya?”,
“kami bertengkar semalam...”,
“kenapa?”,
“karena kamu...”, Ha? Humaira ternganga kalau dibilang menjadi penyebab pertengkaran dua kakak beradik ini.
“gimana bisa... emang aku sudah berbuat apa sampai membuat kalian harus bertengkar gara-gara aku?”, tanyanya penuh dengan tanda tanya.
“kesalahanmu adalah hadir dalam hidup kami...”, jawabnya pendek dengan mata menerawang, lalu ia menceritakan alasan-alasan mengapa mereka bertengkar. Ternyata, walau sifat dua orang ini berbeda tetapi mereka bisa juga menyukai orang yang sama. Suka pada Humaira!
“kamu tau betapa sebenarnya dia, kakakku yang kamu fikir keras kepala itu sangat menyukaimu... tapi karena memang kami sama-sama berprinsip untuk tidak melangkah lebih jauh sebelum kami benar-benar siap. Tapi, semuanya terlambat, karena pada akhirnya kami menyukai orang yang sama... sekali lagi aku minta maaf kalau kami sudah lancang...”, Habib bangkit dari tempatnya duduk dan pergi begitu saja.
“tunggu...”, Habib menoleh,
“bilang sama kakakmu, jangan seperti anak kecil. Dia sudah menolakku jadi jangan pernah mengharapkanku kembali. Dan kamu juga, kamu sudah membuatku menunggu tanpa kepastian terlalu lama, jadi jangan pernah lagi berfikir bahwa aku pasti akan tersentuh mendengar pengakuanmu...”, bukannya terharu karena harusnya kisah cintanya akan tercapai, tapi ia sudah memiliki mas Hanifnya, yang begitu sabar menghadapi sifat kekanakannya di setiap situasi.
“Ra... dik... jangan marah,”,
“aku nggak marah, Cuma lain kali belajarlah untuk tidak mempermainkan perasaan orang sembarangan...”,
Nur yang tau kejadian ini langsung bertanya seperti mengintrogasi penjahat yang akan dimasukkan ke dalam sel tahanan.
“gimana sih Ra, kok bisa ya... ya ampun...”,
“embuh Nur, nggak jelas wis... ngelu aku saiki... eh... tapi, jangan bilang-bilang mas Hanif ya...”,
“emang kalo aku bilang gimana?”,
“jangaaaaannnn....bisa perang aku sama dia... aku kan...sayang sama dia...”,
“ciee...sayang ternyata ehemm...”,
***
“ada apa sama H2... kamu kelihatan kacau...”, tanyanya menembak saat mereka pulang bersama jumat sore itu. Ah iya, ia lupa satu hal, mas Hanif ini sepertinya cenayang, yang bisa saja membaca pikiran orang.
“ada apa? Nggak ada apa-apa kok...”, ia mendadak gugup, ah, ia kan bukan lagi ABG yang jadi bingung jika dihadapkan pada pilihan-pilihan. Apalagi sekarang hatinya sudah mantab untuk memilih satu saja, mas Hanifnya saja. Apa dia sudah lupa? Sepertinya bukan itu, tapi ia menjadi tidak enak hati kalau sampai kakak beradik itu menjadi tidak akur karenanya.
“kalau kamu belum ingin cerita nggak papa kok, hehe... maaf ya, jadi kepo nih...”, ucapnya melihat keraguan di wajah ayu khas Indonesia yang duduk disebelahnya. Mendengar sepertinya mas Hanifnya memang kepo sekali, akhirnya ia memutuskan untuk cerita, tanpa satupun yang dihilangkan dari cerita, alias tanpa sensor.
“waduh... cemburu berat nih aku...”, katanya dibuat seserius mungkin, Humaira jadi gugup, ah ternyata rasanya dicemburuin orang itu seperti itu ya? Ada perasaan bersalah dan takut kehilangan karena merasa membutuhkan seseorang dan perasaan hangat dalam hati karena merasa dibutuhkan oleh orang lain.
“tapi aku sungguh... aku sungguh nggak...”, sejak hubungan itu terjalin entah kenapa Humaira jadi lebih mudah terharu, lebih mudah juga mengekspresikan perasaannya, mau marah, senang, sedih, sudah tidak seperi dulu yang selalu kesulitan mengutarakan perasaan, atau mungkin sekarang sudah tidak canggung lagi. Matanya yang sudah merah karena lelah semakin merah karena mendadak pengen nangis, kalau sudah begini Hanif mau apa lagi kalau nggak meminggirkan mobilnya supaya dia bisa mendengarkan Humaira lebih jelas.
“eh... maaf bukan gitu maksudku... loh, kok nangis...”,
“habisnya... mas Hanif sih bukannya ngasih solusi malah ngomporin aku... aku kan nggak pingin nyakitin siapapun, tapi aku nggak bisa...”,
“istiqorohkan dulu saja, supaya kamu bisa menetukan pilihan yang terbaik... ya? Kamu masih punya hak seandainya kamu ingin memilih selain aku...”,
“kenapa sekarang malah memberikanku jawaban yang membingungkanku... aku tidak pernah berfikir seperti itu...”,
“kalau begitu sekarang waktu yang tepat untuk memikirkannya kan...”,
“mas sama saja... memojokkanku, kenapa membuatku harus memilih kembali, bukannya sudah jelas.. aku sudah memilih kan... aku sudah menjawab...”,
“kalau kamu sudah mantab kamu tidak akan gelisah dik, dan kamu tidak menjawab, kamu diam... dan lalu semua menyimpulkan diammu sebagai iya.karena itu aku ingin kamu menjawabnya dengan jelas...”,
“artinya mas meragukanku kan? Tidak pernah percaya padaku...”,
“bukan begitu tapi...”,
“aku mau pulang... sudah selesai diskusinya!”. Hayo? Mau apa lagi kalau Humaira sudah ngambeg selain menuruti kemauannya untuk pulang dan segera mengunci pintu kamar supaya tidak ada orang yang mengganggunya.
***
“Dik Hadid, saya ingin bertemu bisa? Pagi ini jam6 di mushola FP saja, ada yang perlu saya bicarakan sama antum, tolong ajak Habib juga. Syukron, afwan merepotkan”, Hanif menulis dalam SMS.
Dan, benar saja, seninnya setelah sabtu minggu yang kelabu karena harus marahan dengan Humaira membuat Hanif merasa harus segara bergerak. Biar bagaimanapun, egonya untuk memiliki, dan segera menggenapkan diennya, dia harus ambil alih keadaan kalau sampai akhirnya bisa merusak rencananya untuk segera meminang adik kesayangannya ini.
“maaf dik, bukannya ane mau kepo atau sok tau urusan orang lain, tapi, alangkah baiknya jika memang antum menyukai adik kesayangan ane, Humaira, antum segerakan saja untuk maju, karena dia itu anak orang, dia punya hati yang tidak boleh antum permainkan...”, pinang dibelah dua itu saling pandang tanda kebingungan,
“Humaira adik antum mas?”,
“bukan sih, selama ini ane menganggapnya sebagai adik, tapi sekarang sudah tidak lagi, biar bagaimanapun Humaira adalah orang lain diluar keluarga, jadi ane juga berhak kan untuk mencintainya. Dan ane nggak suka kalau pesaing ane ternyata tidak cukup berani untuk maju.... kalau memang serius harus segera ditindak lanjuti, jangan menggantung...”,
Pembicaraan akhirnya selesai dengan mufakat. Mereka berdua akan segera maju dengan persenjataan masing-masing. Sedikitnya hal ini membuat hati Hanif sedikit terusik, takut akan patah hati yang mungkin akan terjadi padanya. Apa boleh buat, persaingan sudah dimualai sekarang.
Dan benar saja, akhir pekan itu mereka benar-benar datang ke rumah untuk menyampaikan niatnya, tentu saja kehadiran dua orang sekaligus untuk mengatakan bahwa menyukai anak gadis satu-satunya tentu membuat Papa kebingungan, dalam hal ini justru Mama yang lebih banyak bertanya ini-itu pada Hadid dan Habib, ini supaya mereka tidak krik-krik.
Humaira Cuma duduk saja mendengarkan, tidak berkomentar apapun. Ia tidak tau, tapi satu hal, ini tidak membuat hatinya senang. Kalau memang hatinya masih menginginkan salah satu dari dua orang itu, maka hatinya akan berdebar, sama berdebarnya ketika Hanif menyampaikan keinginannya dulu. Ini tidak, ini malah membuatnya ingin segera menyudahi dan berkata tidak. Istiqorohnya sudah jelas jawabannya, berupa kemantaban dalam hati, hatinya tidak pernah ragu, tapi mengetahui seolah mas Hanif tidak percaya padanya, itu membuatnya sakit.
“beri aku waktu satu minggu,”, pintanya kemudian, hanya untuk formalitas supaya mereka masih terus berharap.
Waktu berlari, sudah hari jumat, artinya sabtu besok ia sudah harus punya jawaban untuk Hadid dan Habib. Walau sudah jelas jawabannya tidak, ia masih kesulitan mencari cara yang tepat untuk menjawabnya. Jumat malam biasanya menjadi waktu untuknya bertemu dengan Hanif, biar bagaimanapun hatinya rindu juga kalau sudah hampir dua minggu tidak bertemu. Lagi lagi, entah mungkin Hanif memang cenayang, tiba-tiba ia sudah datang ke rumah membawa roti bakar keju kesukaannya, tahu saja kalau ia memang sedang ngidam banget roti bakar keju, memang sih, keluarganya mulai Papa dan Mamanya juga suka roti bakar keju. Menurutnya, roti baka keju bisa membuat hatinya yang gelisah menjadi lebih tenang.
“Hanif, wah lama juga kamu nggak kesini, udah dua minggu, ada yang kangen itu loh...”, ucap Mama penuh semangat, Papa yang masih di ruang tengah langsung beranjak menemui tamu kesayangannya, calon mantu! Bakalan jadi menantu kesayangan kalo datang ke rumah bawa menu kesukaan calon mertua begitu. Papa langsung semangat memanggil putrinya turun.
Malasnya harus pakai jilbab, ya sudah, cukup rambut dikuncir rapi saja, gerah juga pakai lengan panjang. Biar saja Hanif protes mati-matian kalau ia turun dengan lengan pendek dan tanpa jilbab. Biar bagaimanapun ia kan masih orang lain.
“Nah itu orangnya turun...”, benar kan, wajahnya sudah bersemu merah melihatnya, tapi kali ini Hanif memilih diam dan tidak berkomentar apa-apa. Humaira memang selalu rapi berjilbab kalau ketemu siapapun, tapi kalau sama Hanif, mungkin karena sudah akrab sekali ia jadi seenaknya.
“yawis, Papa sama Mama ke belakang dulu ya... kalian ngobrol dulu aja...”, kata Mama kemudian, Papa yang juga masih ada kerjaan kantor segera menyusul. Papa dan Mama sepertinya memberikan waktu untuk dua orang ini saling meluruskan yang melenceng diantara mereka.
Diam.
“Aku minta maaf...”, ucap Hanif kemudian,
“Mas yang meminta mereka untuk datang kan? Itu membuatku sebal...”,
“aku tau...”,
“kenapa tetap dilakukan...”,
“aku ingin, kamu memiliki kesempatan untuk memilih,”,
“sudah berapa kali aku katakan, aku tidak butuh kesempatan itu! Aku sudah memilih...”,
Diam.
“Aku sudah istiqorohkan seperti yang mas minta. Hasilnya tetap sama...lalu apakah aku masih perlu memberikan keterangan-keterangan yang tidak mereka perlukan”,
“aku hanya ingin kamu dengan yang terbaik,”,
“apa mas berfikir bahwa mas Hanif bukan yang terbaik untukku?”,
“aku tidak tau, karena itu aku ingin kamu istiqoroh terhadap pilihan yang ada...”,
“karena yang terbaik tidak pernah meninggalkanku. Begitulah caraku memilih. Tapi mas tidak percaya kan?”, Humaira mulai kehilangan kesabarannya, matanya mulai memanas,
“aku percaya...”,
“mas tidak percaya! Karena itu mas berusaha meyakinkanku bahwa aku perlu untuk melihat pilihan itu. Aku sudah bilang aku tidak perlu. Aku tidak ingin dengan mereka. Aku tidak bisa... mas tidak tau bagaimana rasanya tidak dipercaya... itu membuatku berfikir mungkin mas yang ragu kepadaku...”,
“astaqfirllah, bukan begitu dik, sungguh, aku tidak pernah berfikir begitu... aku minta maaf, aku tau aku salah, aku Cuma ingin kamu mendapatkan yang terbaik...aku minta maaf, sungguh aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa seperti itu... aku minta maaf...”, Hanif mulai panik, biarpun laki-laki, ia memang tergolong mudah terenyuh hatinya, matanya mulai berkaca-kaca karena perasaan bersalahnya tidak bisa disembunyikan.
Diam.
“kamu tau, aku bahkan berharap bahwa mereka tidak pernah benar-benar datang, karena itu membuatku merasa tersaingi. Padahal mereka juga memiliki kesempatan yang sama denganku. Aku takut dik... aku ingin berdamai dengan diriku sendiri, bagaimana cara agar aku bisa merasa tenang?”,
 “nikahi aku!”, bibirnya bergetar seperti hatinya, ia tidak sedang bercanda kali ini, ia yakin dengan hatinya bahwa itu akan membuatnya merasa yakin. Akhirnya pembicaraan berhenti sampai pada satu kata mufakat telak. Pernikahan itu akan menjadi yang pertama dan terakhir, dan tidak akan menjadi perdebatan lagi diantara siapapun. Karena itupula, saat itu juga ia memberikan keputusan pada Hadid dan Habib melalui SMS, semakin cepat semakin baik.
***
Wlimatul ursy sudah selesai, sahabat-sahabat dan saudara-saudara yang hadir dalam syukuran ikut memberikan selamat. Walaupun masih sama-sama melanjutkan studi S2nya, untunglah Hanif sudah bekerja, dan itu cukup untuk memberikan nafkah bagi kelarga kecilnya nanti. Tidak apa-apa, yang penting dengan begini akan menjawab segala bentuk pertanyaan dan keraguan di hati.
“aduh mantennya cantiknya...”,
“masnya juga cakep...”, kata Nur dkk menghampiri dua sejoli ini,
“heh... enak aja, ini sekarang sudah sah jadi punyaku...”, Humaira protes sambil menggandeng lengan suaminya nggak terima. Semua tertawa. Mungkin, dari pernikahan ini ada setidaknya dua orang yang terluka, Hadid dan Habib, atau mungkin ada beberapa orang lagi yang sakit diam-diam, tapi bukankah memang selalu ada yang sakit secara diam-diam dalam setiap pernikan?
Terkadang, kita terlalu sibuk memandang keluar jendela, seolah di dalam rumah tidak ada lagi yang indah untuk ditengok. Ketika kita berjalan keluar rumah untuk melihat keindahan yang ada, mungkin kita sudah terlupa, bahwa di dalam rumah juga ada yang indah yang terkadang tidak diindahkannya. Begitu juga dengan kekasih hati, kita terlalu sibuk mencari diluar lingkaran kita, padahal ia ada, bahkan sudah ada jauh sebelum kita benar-benar bermaksud untuk mencarinya. Ia sudah ada di sana, menunggu kita mendewasa dengan sabar dan setia, sambil berbenah diri untuk menjadi yang terbaik. Tidakkah kita ingin menengok dulu pada yang paling dekat dengan kita?
TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waiting for the next Kimi Ni Todoke's season

indonesian school uniform

Interaksi GXE (Genotipe x Lingkungan) sebagai konsep Stabilitas dalam Pemuliaan Tanaman